Menjelajah Gurat Jalur Selatan
Pantai Batu Hiu |
Oleh Setiady Dwi
Matahari belum terlalu terik. Suasana di Pantai Pangandaran masih ramai
di pagi hari itu. Pengunjung begitu padat membaur
Saat itu merayakan momentum Tahun Baru 2016 yang telah terlewati dengan sentuhan kenikmatan menyaksikan ombak yang tak terlalu besar yang selalu datang berulang. Menyenangkan memang.
Namun bukan Pangandaran yang menjadi tujuan kami saat itu. Objek wisata andalan Jabar itu hanyalah pembuka dari perjalanan menyusuri jalur pantai selatan di provinsi tersebut.
Karena masih ada penggalan-penggalan keindahan lainnya,
yang ketika disatukan membentuk sebuah pesona.
Bagi penyuka pengembaraan, gemar touring, episode ini tak ada salahnya dilakoni. Rangkaian lokasinya cukup lumayan untuk dicantumkan dalam kurikulum vitae perjalanan yang pernah dilakukan termasuk untuk "selfie-selfie",
foto bergerombol, atau sekadar mengambil lanskap.
Kami merencanakan perjalanan sejauh 430 Km dari Pangandaran hingga Cibareno, Sukabumi. Jarak sepanjang itu disederhanakan dalam dua hari perjalanan. Tetap melelahkan memang, tapi rombongan yang besar membuat suasana berlangsung tak terlalu membosankan.Banyak rekan yang gampang terlibat dalam obrolan, guna menjauhkan jebak kepenatan.
Kelak-kelok jalan, ruas yang relatif sempit, terhimpit perbukitan dan jurang di kawasan Cimerak, adalah sensasi awal sebelum lepas dari Pangandaran.
Petualangan pun dimulai. Cukup menggali adrenaline sekali pun tak ada teriakan kencang saat melintasinya. Sebelumnya, kami menghadiri pelepasan penyu di Pantai Batu Hiu. Ada penangkaran binatang laut itu di kawasan yang juga menjadi objek kunjungan tersebut.
Pantai Batu Hiu merupakan lokasi penangkaran penyu asli laut Pangandaran, mulai dari penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Tempayan, dan penyu-penyu lainnya yg dikelola oleh sebuah organisasi bernama Kelompok Penangkaran Biota Laut (KPLH).
Selain berfungsi untuk melindungi dan mengembangbiakan hewan yg hampir punah ini, KPLH bertugas untuk merawat dan mengobati penyu-penyu yang terluka akibat serangan pemangsa lain atau terjerat jaring nelayan. Bagi yang penasaran bisa bertanya banyak di sana.
Pantai Cimanuk
Meski sempit, kondisi jalan jalur selatan Jabar itu begitu mulus. Bus yang kami tumpangi melaju kencang tanpa goyangan berarti.
Perjalanan cenderung berlangsung lebih rileks. Pemandangan bisa lebih dinikmati termasuk debur ombak khas pantai selatan yang relatif besar, yang kembali tersaji dalam perjalanan menuju Tasikmalaya. Ombak itu hadir bukan sebagai objek wisata namun merupakan sebuah komposisi tak terpisahkan dari nikmat alam yang tak bisa didustakan. Cantik dan masih alami. Belum ada keramaian di sana. Sepi namun membuat sensasi.
Penasaran, kami berhenti di Desa Cimanuk, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya.
Panoramanya membuat kagum. Gulungan ombak besar, khas pantai selatan berkejaran menghantam batu karang.
Pantai berjarak sekitar 1,5 km ke arah timur dari pantai karangtawulan ini terdapat pulau kecil yang di tengah pulau tersebut ada mercusuar. Pulau Nusa manuk, dijadikan sebagai spot pemancingan ikan, jadi bagi yang suka memancing ikan laut, mungkin tempat ini bisa di jadikan referensi. Yang unik disini adalah adanya batu besar yang tergeletak sejajar dengan Nusa Manuk. Jika ingin memanjat batu, sebetulnya tidak terlalu sulit, dan dari atas batu bisa melihat pemandangan pantai Karangtawulan dari kejauhan.Namun kami hanya melihat dari jauh.
Jalan selebar minibus itu begitu menggoda.
Kanan kiri ombak berdebam menghantam bebatuan. Di seberang, pulau yang bermenara itu menawarkan pemandangan yang cukup indah sebagai latarnya.
Belum lagi horison yang membuat laut seperti tak berbatas. Angin yang kencang membuat rambut tersibak, dan menyegarkan kulit. Panas saja yang perlu diantisipasi dengan topi. Selebihnya, rasa bersyukur tak henti-hentinya yang terucap. Oh ya kami tak melupakan sesi wajib yakni melakukan foto-foto. Jepret.
Hanya sebentar keindahan di Nusa Manuk, penjelajahan harus kembali berlanjut. Jalan tetap terasa mulus. Kali ini, badan jalan kebanyakan dilapis beton. Bagi penyuka sensasi berkendara, treknya cukup menantang. Bagi penumpangnya, pemandangan dari kanan ke kiri begitu memanjakan pandang.
Rangkaian panjang bibir pantai, deretan muara, bentang laut yang biru yang bikin adem mata, sementara di seberang sawah-sawah penduduk tampak berjejeran dengan latar bebukitan yang tak kalah bagusnya. Hidangan ikan laut kemudian menjadi pelengkap dari rangkaian perjalanan itu.
Oh ya, lebar jalan yang bisa untuk berpapasan kendaraan besar seperti bus dan truk, cukup leluasa untuk menunjang petualangan Jabar selatan. Hanya saja, jalur dari Cipatujah, Tasikmalaya ke arah Cibalong, Garut, Pengendara harus mempersiapkan diri secara prima termasuk kondisi kendaraannya karena banyaknya tanjakan panjang, yang seolah tersaji tanpa henti. Belum lagi jalanan menurun dan banyak kelokan. Menuntut konsentrasi. Sambil menghabiskan camilan, sensasi lain dirasakan ketika melahap trek dari Cibalong ke Pantai Rancabuaya, Garut untuk bermalam melepas lelah. Jalannya benar-benar naik turun. Itu terjadi karena badan jalan yang mengikuti kontur bukit dan sungai bergantian.
Ya, jalannya mirip-mirip hurup U yang bersambungan. Dari semula jalan lurus di bukit, mendekati jembatan treknya menurun, dan selepas jembatan, treknya kembali menanjak untuk mengikuti jalan yang lurus di perbukitan. Berkali-kali kami melewatinya. Orang setempat sempat mengingatkan bahwa perjalanan kami bakal melewati 22 jembatan. Luar biasa.
Namun kepenatan di hari pertama itu segera sirna begitu pagi muncul di kawasan Rancabuaya. Dari penginapan, aroma khas laut, aktivitas nelayan, debur ombak besar pantai selatan yang kembali menyapa, dan batu-batu karang yang menjadi tipe pantai Rancabuaya yang akan dikembangkan menjadi kawasan baru itu, terasa kuat.
Rute yang akan ditempuh adalah Rancabuaya-Cidaun-Sindangbarang-Agrabinta sebelum berlabuh di Tegalbuleud, Sukabumi. Perjalanan terpaksa diakhiri di Tegalbuleud, karena situasi lalu lintas dalam rangkaian Tahun Baru menuju Cibareno dengan melewati objek wisata Pelabuhan Ratu, dilaporkan masih ramai. Kondisi itu pun dihindari.
Seharian, rombongan kembali berada di jalanan. Menapaki ruas jalan di sisi selatan Jabar yang sebelumnya kerap mendapat cap berkondisi buruk. Kali ini tawaran kontur jalannya begitu bervariasi. Tak hanya menyusuri pantai yang mungkin sepelemparan batu dari jalan yang kami lalui. Tak hanya belokan, tapi juga lekukan tajam di alur lembah.
Tanjakan dan turunan yang menjadi pembeda, karena bisa membuat konvoi kendaraan rombongan kami meliuk-liuk di perbukitan dan pada kali lain, langsung menghantarkannya ke pesisir laut. Dari atas bukit, laut seolah menjadi dinding besar yang bersanding dengan persawahan, lahan, dan rumah penduduk.
Sejurus kemudian, buih ombak terasa begitu dekat di antara permukiman yang kami lewati. Sebelum kemudian, suasana hutan mengapit rombongan yang masih terus melaju. Hutannya pun masih asri. Seolah kami tak pernah melewati pantai sebelumnya karena perbukitan yang menaungi pepohonan yang tumbuh di kanan-kiri.
Paduan tersebut semakin memberi ketegasan warna perjalanan yang berlangsung selama dua hari itu. Kekayaan alam yang melimpah di sepanjang jalur itu sayang untuk sekadar dilewatkan begitu saja. Memori otomatis dibuka untuk mengendapkannya.
Butuh nyali dan kesiapan memadai memang, terutama kendaraan baik roda empat maupun roda dua, namun sensasinya cukup menantang dan mendebarkan. Tak percaya jajal saja dengan menjelajah gurat Jalur Selatan Jabar yang berubah menjadi lebih nyaman.
Rubrik Jalan-Jalan
Suara Merdeka, 7 Februari 2016
0 Komentar
No spam, please...