Wisata Banyuwangi : Menapak Ijen, Menjejak Baluran

Menapak Ijen, Menjejak Baluran

  Oleh Setiady Dwie 
Sepanjang malam menuju Banyuwangi, kami habiskan di dalam kabin kereta. Bukan kereta baru seperti yang dijanjikan. Yang ada, badan terasa pegal-pegal karena kursi kereta lama dan memang tidak menunjang untuk sekadar memejamkan mata di sepanjang perjalanan. Kurang empuk bahkan cenderung keras, karena itu saya kerap terbangun.

Tapi sudahlah, ada suguhan sensasi yang sayang dilewatkan. Jadi cukup-cukupkan saja waktu istirahat yang kurang ideal itu sebagai bekal energi melahap aktivitas yang padat ini. Tema besarnya sendiri, pendakian ke Kawah Ijen (2.386 mdpl) yang berada di perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso. Bagaimana?
Mari kita mulai petualangan ini. Hanya saja, kami tak langsung ke Ijen. Sayang saja, kalau tak mampir sana-sini dulu guna menikmati geliat wisata daerah di ujung timur Pulau Jawa itu. Kami tiba sekitar waktu subuh, namun suasana di kota dengan slogan “Sunrise of Java” itu tampak sudah agak terang. Kami lantas bersiap-siap. Untuk sekadar santai, sebagian dari kami memakai celana pendek. Lho, mau ke mana jadinya?
Ternyata jadwal mengharuskan kami menikmati arung jeram terlebih dahulu. Dengan kondisi yang masih setengah mengantuk dan badan masih terasa agak kaku, tawaran itu memang terkesan fifty-fifty untuk ditanggapi.
Tapi di sisi lain, apa salahnya juga sensasi itu dinikmati. Tak ada kamus malas untuk tantangan seperti ini. Sayang untuk dilewatkan, apalagi sudah datang jauh-jauh. Lebih dari itu, setidaknya aktivitas ini cukup untuk membasuh kepenatan perjalanan dengan kesegaran air yang masih mengalir bersih di antara kungkungan alam pegunungan.
Jadilah kami turun dengan hati riang ke Kali Badeng. Seketika, aliran sungai yang tercakup dalam wilayah Songgon itu membuai kami dengan bantingan, kelokan, dan goyangan jeramnya.
Kami naik perahu tanpa dayung, membiarkannya terombang-ambing arus dan laju sepenuhnya diatur pemandu di bagian belakang, karena alur sungai yang sempit namun cukup memicu adrenalin.
Suara deras air sungai, di antaranya akibat bertumbukan dengan batu yang berasal kaki Gunung Api Raung itu pun beradu kencang dengan teriakan, kehebohan, aba-aba kewaspadaan, dan obrolan dalam volume kencang dengan posisi tangan yang kadang harus mencengkeram erat pegangan karena goncangan riak.
Benar-benar cukup menguras stamina, mental, dan yang paling penting kegembiraan. Ketegangan hilang, termasuk beban pikiran karena hiruk-pikuk rutinitas kota yang mendadak lenyap. Semuanya fokus dan tertelan dalam sensasi di pagi hari itu.


Mulai Pendakian
Sebelumnya, kami menikmati suasana hutan, termasuk jajaran pinus yang eksotis di sekitar kali tersebut. Menaiki mobil bak terbuka, kesegaran udara dari rerimbunan pepohonan membuat stamina yang tadinya masih belum pulih menjadi kencang kembali dan tak sabar dalam menjawab tantangan yang ditawarkan di kesempatan berikut.
Malam harinya, pendakian ke Ijen yang ditunggu-tunggu itu dilakukan. Untuk keamanan, kami mendapatkan briefing tengah malam di Paltuding. Di pintu utama menuju jalur pendakian itu, kami sudah melengkapi diri dengan masker, jaket tebal, lampu senter, kaus tangan, dan air mineral.
Hawa dingin memang sempat terasa menusuk namun jalur pendakian yang berjarak kurang dari 3 km itu mampu memberikan kehangatan. Semua anggota tubuh diajak bergerak. Jalur yang terus menanjak memang menuntut stamina prima.
Bagi sebagian kami yang tak rutin berolahraga, rute tersebut memang cukup membuat kewalahan. Napas ngos-ngosan pun tak terhindarkan. Jadilah, perjalanan itu disiasati dengan cara merayap. Lebih banyak berhenti, untuk menghimpun tenaga sekaligus mengatur napas, dibanding terus berjalan kaki guna secepatnya menyentuh Kawah Ijen yang terkenal dengan fenomena api birunya.
Ya, harus bagaimana lagi, strategi ini memang yang paling tepat diterapkan bagi mereka yang ingin tetap sampai di puncak. Toh kesabaran merupakan obat mujarab di saat kesulitan. Benar saja. Kendati harus menghabiskan waktu selama tiga jam, sebagian dari kita akhirnya bisa menyentuh kawah guna berbaur bersama pendaki lainnya. Di antara kegelapan yang tak lagi pekat, kepulan asap dari kawah menjejak membumbung. Sedikit cahaya tampak dari dalam kawah. 
Begitu langit agak terang, pemandangan memanjakan pandang mulai menyapa. Kuningan belerang dengan kepulan asap di antara kolom-kolomnya dan danau kawah yang bertahap melepaskan diri dari balutan kabut, menjadi paduan menjanjikan saat kami menyimaknya dari bidang tinggi pada dinding kawah. Di sisi lain, gurat-gurat dinding kawah membentuk sedap pandang lainnya.

Abadikan Momen
Kuningan belerang itu bisa dijangkau dengan menuruni tangga. Jalan yang sama digunakan pula para penambang yang hilir mudik mengangkutnya dengan pikulan. Tak tanggung-tanggung, sekali angkut, berat belerang bagi kepentingan industri itu bisa sampai 100 kg.
Benar-benar luar biasa saat proses itu dilakukan. Sebuah kerja yang tak mudah dan memberikan sarat makna. Karena itu bukanlah perjuangan yang mudah.
Selebihnya, tak afdol rasanya jika tak mengabadikan momen-momen di panorama Ijen itu.
Apalagi untuk kepentingan akun sosmed. Foto yang akan menjadi bukti dan pemberitahuan bagi orang lain bahwa pemilik akunnya pernah ke sana dengan sebuah ikhtiar tak mudah. Itu pula yang banyak ditemui di pojok-pojok dari sekian kawawan di gunung api itu.
Sebuah rentetan sensasi yang tak bisa dilupakan.
Sama halnya ketika kami bergerak ke Taman Nasional Baluran, Situbondo. yang mudah diakses dari Banyuwangi. Kami menikmati savana yang begitu luas sehingga taman nasional itu dijuluki “Africa van Java”.
Sejauh pandang, padang rumput yang tersaji itu seolah tanpa batas. Kami menyaksikan kerbau tengah menjelajah bersama kawanannya. Satwa lain yang kerap memanfaatkan keluasan savana itu adalah rusa dan banteng.
Dan savana itu terlihat semakin eksotis dengan satu-dua pohon besar di tengahnya. Landscape yang mengundang hasrat jeprat-jepret baik menggunakan ponsel maupun kamera beneran untuk sekadar berfoto diri.
Photo by : Opslooper
Tak kalah mengasyikan adalah panorama berlatar Gunung Api Baluran dengan tetap menginjakan kaki di Savana Bekol -nama resminya. Bisa berkali-kali frame yang bisa diambil. Belum lagi pepohonan yang dirimbuni kera yang kadang mendekati rombongan. 
Jangan pula dilupakan, evergreen forest, berupa hutan yang senantiasa hijau yang bisa dinikmati di kanan-kiri pada akses jalan menuju padang rumput itu dengan satwa-satwa yang meramaikannya.
Situasi yang menawarkan kesejukan seperti halnya ketika mengingat kembali memori di sejumlah objek di Banyuwangi yang sudah mengendap abadi, tanpa menyurutkan keinginan untuk mengulang sensasi yang sudah dirasakan. Ke Banyuwangi, kami ingin kembali. 

Suara Merdeka, 20170312

Posting Komentar

0 Komentar